Korban May Day Laporkan Aparat ke Mabes Polri: Dugaan Kekerasan dan Pelecehan Seksual Mengemuka

 


Jakarta, KomenNews.com – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban aksi Hari Buruh Internasional (May Day) pada 1 Mei 2025 telah secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Laporan ini diajukan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Selain laporan pidana, TAUD juga meneruskan pengaduan dugaan pelanggaran etik ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik) serta Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

TAUD menemukan fakta bahwa tindakan kekerasan ini terjadi saat aksi May Day di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta. Sejumlah peserta aksi, termasuk mahasiswa, masyarakat sipil, dan paramedis, diduga menjadi korban intimidasi, pemukulan, hingga pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Insiden kekerasan ini dilaporkan terjadi saat para peserta aksi meninggalkan lokasi unjuk rasa di sekitar jembatan layang Ladokgi, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Tindakan kekerasan fisik yang dialami para korban diduga melanggar Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Sementara itu, salah satu paralegal perempuan dari tim medis yang mengalami kekerasan seksual secara verbal dan fisik diduga kuat telah menjadi korban pelanggaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), khususnya Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f.

Setelah melalui proses konsultasi yang berlangsung sekitar sembilan jam, Mabes Polri akhirnya menerima empat Laporan Polisi dari para korban pada tanggal 16 dan 17 Juni 2025. Laporan-laporan ini didukung oleh bukti berupa foto dan video yang telah dikumpulkan oleh TAUD.

Adapun nomor Laporan Polisi yang tercatat di SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia meliputi: STTL/280/VI/2025/BARESKRIM, STTL/284/VI/2025/BARESKRIM, STTL/285/VI/2025/BARESKRIM, dan STTL/286/VI/2025/BARESKRIM.

TAUD juga telah mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik) terkait dugaan pelanggaran hukum acara pidana oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap empat belas klien mereka. Pelanggaran yang dimaksud termasuk prosedur penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme "pemeriksaan" ilegal.

Selain itu, pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri, dengan nomor SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025, juga telah diajukan. Pengaduan ini berkaitan dengan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian, seperti kekerasan terhadap masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi keliru oleh pejabat kepolisian.

Atas dasar insiden ini, TAUD mendesak beberapa pihak untuk segera bertindak:

 * Bareskrim Polri diharapkan dapat memproses laporan ini sebagai bentuk komitmen dalam menegakkan keadilan bagi korban.

 * Divisi Propam Mabes Polri diminta untuk melakukan audit investigasi dan pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian.

 * Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri didesak untuk memeriksa seluruh rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini.

 * Kapolri dituntut untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan, dengan melakukan pemeriksaan internal yang transparan.

 * Komnas HAM dan Komnas Perempuan diharapkan segera melakukan penyelidikan independen dan mengeluarkan rekomendasi untuk pemulihan serta jaminan agar kejadian serupa tidak terulang.

 * Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diminta untuk memberikan perlindungan keamanan bagi para korban dan saksi, serta memfasilitasi restitusi atas penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang dialami korban.

 * Pemerintah dan institusi Polri harus menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

 * Pemerintah juga didesak untuk menyediakan mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, sebagai bentuk tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama