Urgensi UUPN: Menyelamatkan Ekonomi Nasional dari Cengkeraman Oligarki

Jakarta, KomenNews.com— Meski telah 79 tahun merdeka, Indonesia hingga kini belum memiliki Undang-Undang Perekonomian Nasional (UUPN). Kekosongan legislasi ini bukan sekadar kelalaian, melainkan dianggap sebagai sabotase konstitusional yang terus membiarkan ekonomi nasional dikendalikan oleh logika pasar bebas dan oligarki global. Hal ini menjadi sorotan utama dalam Diskusi Publik "Ekonomi Inklusif, Menolak Ekonomi Ekstraktif: Menuju Revolusi Pancasila dalam Perekonomian Nasional" yang digelar oleh Media OTORITAS dan Nusantara Centre di Twelve Café, Johar Baru, Jakarta Pusat. Dalam forum tersebut, Dr. Yudhi Haryono (Ekonom Pancasila) dan Dr. Agus Rizal (Universitas MH Thamrin) secara tajam mengkritik kemandekan legislasi ekonomi nasional yang justru menyingkirkan partisipasi rakyat dari kebijakan publik. Dr. Agus Rizal bahkan menegaskan bahwa ketiadaan UUPN bukanlah karena lupa, tetapi karena banyaknya pihak yang diuntungkan dari ketimpangan ekonomi yang terjadi.

Para narasumber menyoroti pengabaian dan pengkhianatan terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang seharusnya menjamin penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting demi hajat hidup rakyat. Namun, kepentingan investor asing sering kali ditempatkan di atas amanat konstitusi. Dr. Yudhi Haryono menekankan bahwa legislasi ekonomi bukan hanya masalah teknis, melainkan pertarungan ideologi dan keberpihakan, antara menjadi republik merdeka atau koloni modern. Tanpa UUPN, Indonesia dianggap menjalankan ekonomi tanpa arah, prinsip, dan tanpa melibatkan rakyat.

Diskusi ini menghasilkan tiga seruan aksi strategis sebagai bentuk perlawanan konstitusional dari bawah: pertama, menggelar Sidang Rakyat di berbagai daerah untuk menyusun draf tandingan RUU Perekonomian Nasional berdasarkan aspirasi akar rumput; kedua, membangun Koalisi Nasional yang melibatkan komunitas sipil, akademisi, koperasi, BUMDes, BUMN, dan pelaku ekonomi rakyat untuk mendorong legislasi inklusif; dan ketiga, mengembangkan Indeks Legislasi Ekonomi Berkeadilan sebagai alat ukur keberpihakan suatu undang-undang pada rakyat atau pada kekuatan modal. Bagi para pembicara, RUU Perekonomian Nasional bukan sekadar draf hukum, melainkan sebuah manifesto ideologis bangsa yang merumuskan arah ekonomi yang berdaulat, berkeadilan, dan berbasis Pancasila. Dr. Yudhi dengan tegas menyerukan, "Diam adalah izin. Bergerak adalah syarat. Jika ekonomi tak dibela, maka republik akan dijual."

Isu nasionalisasi turut digaungkan. Menurut Dr. Yudhi, pengambilalihan aset asing bukanlah tindakan ekstrem, melainkan langkah konstitusional yang sah secara hukum internasional, asalkan dilakukan untuk kepentingan umum, secara adil, tidak diskriminatif, dan dengan kompensasi yang layak. Hal ini dijamin oleh UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menjadikan nasionalisasi sebagai instrumen kedaulatan yang sah. Forum ini dihadiri oleh beragam tokoh penting, antara lain Dr. Heri Soelaiman, SH (Pimpinan Perusahaan Media OTORITAS), Taufik Rachman, SH. S.Sos (Ketua Dewan Pembina IPJI), Arthur Noija, SH (Ketua Peduli Nusantara Tunggal), Uchok Sky Khadafi (Direktur Eksekutif Central Budgeting of Analysis), Reimon (Ketua Lintas Corruption Watch), serta perwakilan dari berbagai organisasi dan media lainnya. Secara keseluruhan, forum ini menegaskan bahwa jika Republik ini ingin selamat dari kolonialisme ekonomi gaya baru, maka RUU Perekonomian Nasional harus menjadi prioritas politik dan etika. Ini bukan hanya soal draf hukum, tapi soal nasib sejarah bangsa. Jika rakyat diam, sejarah akan ditulis oleh korporasi, dan jika bukan kita yang bergerak, siapa lagi?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama