KomenNews.com,GARUT — Ruang Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut pada Senin (17/11/2025) kembali memperlihatkan wajah buram birokrasi lokal. Sidang yang seharusnya menjadi forum paling sakral dalam merumuskan arah pembangunan daerah justru berubah menjadi tontonan memalukan: anggota dewan asyik main gawai, pejabat menahan kantuk, hingga Kepala Dinas Pendidikan tertidur saat pembahasan rancangan APBD.
Padahal, ruangan itu adalah tempat lahirnya kebijakan, “kitab suci” pemerintahan, dan arah masa depan jutaan rakyat Garut. Namun yang tampak di lapangan justru jauh dari martabat sebuah sidang terhormat.
Alih-alih menjadi arena intelektual, ruang sidang hari itu menyerupai ruang tunggu terminal—bahkan lebih buruk. Kursi memang banyak yang kosong, tapi lebih kosong lagi perhatian dan kesadaran para pejabat yang hadir.
Seorang anggota DPRD dari Fraksi Golkar tertangkap kamera sibuk menggeser layar ponselnya, seolah tak ada agenda penting yang sedang dibacakan. Di sisi lain, Kepala Dinas Pendidikan justru tertidur, kepalanya terkulai saat pimpinan sidang memaparkan materi strategis terkait arah kebijakan keuangan daerah tahun anggaran mendatang. Pejabat lainnya tampak menguap dan bermain HP, menambah daftar panjang ironi lembaga publik yang semestinya menjaga wibawa dan etikanya.
Perilaku itu menjadi pukulan telak bagi DPRD Garut sendiri. Baru beberapa hari lalu mereka mengesahkan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan (BK) dokumen yang digadang-gadang akan memperkuat integritas anggota dewan. Namun sebelum tinta pengesahan itu benar-benar kering, pelanggaran etika justru terjadi terang-terangan di jantung lembaga legislatif.
Tak heran peserta rapat dibuat geleng-geleng kepala.
“Ini rapat penting. Masa main HP, apalagi ada pejabat yang tidur. Ini bukan warung kopi,” ujar salah satu peserta sidang yang enggan disebutkan namanya.
Kontras terlihat di meja pimpinan sidang. Bupati Garut dan unsur pimpinan DPRD tampak serius mengikuti agenda dan membacakan materi penting terkait pembangunan. Ironinya, sebagian peserta justru tenggelam dalam kantuk dan kesibukan pribadi, seakan agenda negara hanya sebatas rutinitas yang harus dihadiri, bukan dikerjakan.
Secara aturan, perilaku demikian bisa diproses oleh Badan Kehormatan. Anggota dewan yang dinilai melanggar kode etik dapat dipanggil dan diberi teguran. Namun pada sidang kali ini, tidak ada teguran langsung. Hanya lirikan-lirikan tajam antaranggota yang seolah memahami bahwa apa yang mereka saksikan sudah melampaui batas toleransi publik.
Rapat tetap berjalan, membahas rencana kebijakan dan alokasi anggaran strategis. Tetapi pertanyaan besar muncul: Jika fokus pun sulit dijaga, bagaimana masyarakat bisa mempercayai bahwa keputusan-keputusan penting itu dipahami dengan serius oleh mereka yang hadir?
Pengesahan kode etik tampaknya hanya menjadi pemanis di atas meja dipublikasikan untuk memenuhi desakan publik agar terlihat aspiratif, bukan benar-benar dijadikan pedoman moral. Karena apa artinya aturan jika pelanggarnya justru muncul di ruang terhormat, pada saat yang paling menentukan? (M.fajar)
Posting Komentar